Konsep Pembelajaran Apresiasi Seni



Oleh: Bandi Sobandi
Kegiatan apresiasi tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Setiap saat kita sering melihat dan mengamati hasil-hasil karya orang lain yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, jenis, dan media yang sangat beragam. Penciptaan benda-benda tersebut disuguhkan oleh penciptanya untuk memenuhi tuntutan para konsumen agar dinikmati dan dihargai sebagai produk budaya. Kegiatan apresiasi seni dalam konteks pendidikan dapat dilakukan dalam kegiatan pembelajaran di kelas atau di luar kelas. Kegiatan apresiasi terhadap karya seni di dalam kelas dapat dilakukan dengan membahas karya seni baik secara lisan atau tulisan. Sedangkan kegiatan kegiatan apresiasi di luar sekolah, para siswa diajak untuk menonton film proses berkesenian, mengunjungi pameran atau pertunjukan seni, kunjungan ke museum, kunjungan ke pasar seni, atau kunjungan ke sentra-sentra kerajinan yang ada di sekitar lingkungan sekolah. Kegiatan ini bertujuan untuk menanamkan sikap dan kebiasaan kritis dan saling menghargai antar sesama.
A. Definisi Apresiasi Seni
Apresiasi merupakan kegiatan mental individu dalam proses penilaian. Pandangan lain mengenai istilah ini ditujukkan kepada khalayak sebagai proses pertukaran pemikiran yang berhubungan untuk mengagumi suatu nilai. Bahkan pada saat ini apresiasi sering digunakan pada istilah ekonomi (dari bahasa Latin, price atau prex yang berarti harga). Hal ini tentunya tidak hanya digunakan pada kontek penghargaan terhadap orang tapi pada sesuatu benda atau peristiwa yang telah, sedang, dan yang akan terjadi.
Secara etimologis, perkataan “apresiasi” berasal dari kata appreciation (Inggris), appreciatie (Belanda), dan menurut kamus-kamus dalam bahasa Inggris di antaranya” to appreciate, yaitu bentuk kata kerjanya, berarti to judge the value of; understand or enjoy fully in the right way (Oxford). Sementara itu, istilah
 “Apresiasi” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1988: 46) adalah: “1 kesadaran thd nilai-nilai seni dan budaya; 2 penilaian (penghargaan) thd sesuatu…”. Berdasarkan pendapat tersebut maka apresiasi seni dapat diartikan sebagai upaya untuk menyadari akan nilai-nilai (estetika) yang terdapat pada sesuatu (misalnya orang, benda, atau peristiwa) untuk diberikan penghargaan atau penilaian mengenai kualitas sesuatu tersebut. Apresiasi seni adalah pemahaman dan pengenalan, pertimbangan, dan penilaian yang tepat tentang hal ihwal seni. Kegiatan apresiasi seni merupakan penikmatan seni Lebih lanjut, apresiasi berarti pengenalan nilai pada tingkatan nilai yang lebih tinggi. Apresiasi merupakan jawaban seseorang yang sudah matang dan sudah berkembang ke arah nilai yang lebih tinggi, sehingga ia siap untuk melihat dan mengenal nilai dengan tepat, dan menjawabnya dengan hangat dan simpatik (Derlan, 1987: 5). Pendapat ini dipertegas Emmons dan McCullough (2004: 231) dalam The Psychology of Gratitude bahwa apresiasi sebagai: “the act of estimating the qualities of things according to their true worth,”“grateful recognition,”“sensitive awareness or enjoyment,” and “an increase in value.” Pendapat senada diungkapkan Soeharjo (2005: 169) bahwa: Apresiasi seni adalah menghargai seni lewat kegiatan pengamatan yang menimbulkan respon terhadap stimulus yang berasal dari karya seni sedemikian sehingga menimbulkan rasa keterpesonaan pada awalnya, diikuti dengan penikmatan serta pemahaman bagi pengamatnya Kegiatan apresiasi dapat mengembangkan dan mengantarkan seseorang untuk melihat keindahan karya seni. Ini merupakan kegiatan perasaan dan emosi bahkan apresiasi ini merupakan kegiatan mental secara aktif. Hal ini dipertegas Rollo May (Alisyahbana, 1983: 81) bahwa mengapresiasi terhadap suatu kreasi baru atau hasil seni juga merupakan suatu creative act. Pendapat yang senada dikemukakan Osborne (1970: 204) dalam The Appreciation of Art bahwa: “ Appreciation is an active mental operation, demanding intense effort of concentration in the exercise of skilled faculties of percipience”.
Apresiasi seni sebagai suatu definisi dapat dideskripsikan dengan model persepsi estetik yang membangun hubungan antara berbagai variabel. Pernyataan tersebut diformulasikan sebagai berikut:
Sumber: Chang (1980), http://www lastplace.com/aestheticmodel.htm Model formulasi di atas menunjukkan bahwa dalam proses pengamatan seni merupakan kegiatan yang kompleks. Namun demikian, formulasi di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi merupakan merupakan hubungan timbal balik antara pencipta seni (seniman) dengan pengamat seni (apresiator). Proses hubungan tersebut terjadi melalui media penyampai pesan yaitu karya seni antara kedua belah pihak.
Seni hanya ada dalam fikiran dan pilihan para pengamat. Secara psikologis, ada faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, di antaranya
AA = art appreciation
ro = mental set or readiness of observer
ra = mental set or readiness of artist
P = psychophysical stimuly and mental reactions
U = the Uncionscious, including the irrational
Kf = knowledge of social origin that facillitates liking a specific something
Kd = knowledge of social origin that debilitates liking a specific something
If = personal individual perceptual and Cognitive framework that facilitates liking something
Id = personal “preferences” that debilitate liking something
t = time
m = medium (-a) used
G = goal of the art work
M = material manipulation or transformation (technique)
o = observers
a = artists
budaya, seks, usia, pendidikan kesenian secara formal, politik, ekonomi dan system nilai. Faktor persepsi kognitif dalam seni adalah ketidaksadaran dan psychophysical mekanika sensori pada badan manusia. Disini ada juga yang mempengaruhi yaitu factor waktu dan material (bahan) yang digunakan dalam membuat karya seni. Beberapa faktor estetika diidentifikasi dari adanya variable yang mengikutinya seperti: kebosanan (boredom), nilai keheranan (surprise value), keakraban (familiarity), kebaruan (novelity) dan kenangan (nostalgia)(Chang, 1980, http://www lastplace.com/whatisartfrom.htm). Keseluruhan faktor di atas berinteraksi dalam otak pengamat sehingga pengamat dengan segera mereaksi karya seni dengan meletakan perhatiannya. Perasaannya bisa berupa perasaan suka atau tidak suka. Dapat dikatakan, secara intuitif jalan untuk mengetahui tentang yang disukainya. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan apresiasi seni B. Dimensi Apresiasi Kegiatan apresiasi merupakan suatu kegiatan yang kompleks. Hal ini dapat dikaji dari berbagai dimensi. Menurut Osborn (1970) bahwa apresiasi sebagai suatu sikap attitudes), apresiasi sebagai suatu aksi (actions) 1. Apresisi sebagai Sikap Apresiasi seni sering didefiniskan dalam istilah kebiasaan (habits) dan suatu keahlian (skills), tetapi definisi apresiasi secara lengkap seharusnya mengandung suatu sikap atau perasaan tentang seni yang membawa individu kepada sesuatu atau pengalaman dengan seni. Harold Osborne meyakini bahwa apresiasi dapat mengembangkan kebiasaan mental berupa perhatian (attention) dan ketertarikan (interest) secara bersama-sama membawanya dengan keahlian yang dituntut dalam keahlian dan kemampuann untuk diperlihatkan dalam nuansa yang berbeda.
Pengembangan pengetahuan dan pengalaman diperlukan untuk memperkaya tujuan apresiasi yang meliputi respek untuk para ahli, penilaian produk yang dihasilkan oleh kemampuan para ahli, perasaan/pemahaman
mengenai -”emotions function cognitively”- untuk aturan yang dimainkan oleh seni rupa dalam kebudayaan manusia, dan rasa toreransi bagi perbedaan orang-orang, kelompok, budaya, gambar dan objek/benda. Oleh karena itu, permulaan apresiator memerlukan waktu dan berusaha meningkatkan keterampilan dalam menilai dan mengetahui tentang seni secara menyeluruh. Para apresiator membawa orang baru untuk menjadi seorang ahli dalam menanggapi karya seni dan menjadi ahli untuk meneliti karya seni. 2. Apresiasi sebagai suatu prilaku (action) Perkembangan mental dapat dilatih melalui studi apresiasi seni yang meliputi: memusatkan perhatian, mengenal peredaan, pemahaman kontekstual dan penilaian. Guru juga diharapkan aktif dalam mengapresiasi dan keterlibatanya dalam kehidupan seni. Mereka yakin bahwa struktur pengalaman dalam kelas melayaninya sebagai model seni yang dapat dikembangkan pada masa datang. Selanjutnya, ada yang mungkin dipadukan untuk dalam mencari seni melalui kegiatan membacanya, mengumpulkan karya, dan ekspresi sosial dengan sikap positif dan partisipasi. Keterampilan apresiasi seni telah dikembangkan dan dimulai atas dasar pengetahuan, apresiator baru yang menemukan penguatan dalam melakukan aktivitas apresiasi. Apresiasi seni ini berlangsung alamiah dalam interaksi, rekonstruksi, dan keberlangsungannya. Suatu kajian keindahan dan apresiasi dibahas Rollin McCraty and Doc Childre (Emmons dan McCullough, 2004: 237) yang memaparkan pandangan apresiasi dalam tilikan psikologi dengan The Grateful Heart The Psychophysiology of Appreciation. Secara skematik, gambaran mengenai apresiasi terlihat pada pola ritmik hati selama pengamatan berlangsung.
Gambar 2 Pola ritmik emosi selama psychophysiological (Sumber: Emmons, R. A. & McCullough, M.E. (Ed.) (2004: 237) Gambar di atas menjelaskan pada kita bahwa pola ritmik hati manusia dalam kondisi marah, santai dan memberikan apresiasi. Pada bagian kiri grafik menunjukkan rata-rata perubahan denyut hati dengan ukuran per menit. Sementara, pada bagian kanan grafik menunjukkan perbedaan hati dengan power spectral density (PSD). Marah dikarakteristikan dengan rendahnya frekuensi,. Keadaan pola irama hati rata-rata meningkat. Sebagai suatu hubungan yang dapat kita lihat berkaitan dengan kekuatan spektrum pada bagian kanan, ritme selama marah pada awalnya sangat rendah dengan prekuensi (0.0033–0.04 hertz), yang digabungan sympathetic nervous system activity.
Keadaan santai (rileks) menghasilkan frekuensi yang tinggi dengan paling irama amplitudo paling bawah, menunjukkan pengurangan tiupan ke luar dengan
sendirinya. Kasus ini meningkatkan kekuatan dalam frekuensi tinggi (0.15–0.4 hertz) pada kekuatan spektrum yang diamati, merefleksikan ditambahkan parasympathetic activity (the relaxation response). Secara kontras, terkandung menopang emosi positif seperti suatu apresiasi yang diasosiasikan dengan tingginya aturan, kehalusan, seperti gelombang pola ritme hati (coherence). Hubungan kekuatan spektrum dapat kita lihat secara psikologis dengan, arah bagian puncak dalam frekuensi rendah (0.04–0.15 hertz), yang dipusatkan sekitar 0.1 hertz. Hal ini menunjukkan sistem perluasan getaran, dengan ditingkatkanya synchronization dengan sympathetic dan parasympathetic branches dari sistem nervous, dan antara pola ritme hati, pernapasan, dan ritme tekanan darah. C. Tujuan dan Fungsi Apresiasi Seni 1. Tujuan Apresiasi Seni Tujuan apresiasi seni diungkapkan Derlan (1987: 16) bahwa apresiasi seni pada hakekatnya adalah untuk mendapatkan apa yang disebut dengan “pengalaman estetis”. Penikmatan seni yang terarah, sadar dan bertujuan akan menghasilkan pengalaman tersebut. Seperti halnya dengan pergaulan yang akrab dengan karya seni, pengalaman-pengalaman itu didapatkan. Hal ini dipertegas Soedarso (1990:79) yang menyebutkan bahwa tujuan pokok penyelenggaran apresiasi seni adalah untuk menjadikan masyarakat (siswa) “melek seni” sehingga dapat menerima seni sebagai mestinya.
Tujuan apresiasi seni dalam kurikulum pendidikan umum adalah untuk memperkenalkan siswa terhadap seni dan lebih jauhnya dapat memahami nilai-nilai dan aturan dalam kehidupan budayanya. Hal ini ditegaskan Rice (1997) dalam Art Appreciation (http://www.uncg.edu/art/courses/rwrice/360/AAprec. htm) bahwa:
The goal of the teaching of art appreciation as a part of general education in the college curriculum has been to introduce students to art, hoping to convey an understanding of the value and role of art in our culture. But appreciating art is a much more complicated and personal enterprise that may require more than an introduction…. It is the attitudes and actions within those definitions that create the dynamics of discovery for the
individual who appreciates. Teaching and learning about art are processes of discovery, and the “findings” will impact the individuals future interactions with art. Clearly, coming to value and understand or appreciate art is a complex undertaking. Pandangan di atas juga menujukkan bahwa selain kegiatan apresiasi seni merupakan sesuatu yang kompleks dan memerlukan usaha secara individual untuk tidak hanya sekedar mengenalnya, tapi perlu mempelajarinya dengan seksama. Apresiasi juga merupakan sikap dan perbuatan yang diartikan sebagai dinamika dari penemuan individu yang melakukan apresiasi. Mengajar dan belajar tentang seni merupakan proses penemuan dan suatu penemuan yang akan mempengeruhi individu dalam berinteraksi dengan seni di masa datang. Tentunya hal ini akan mendatangkan suatu nilai dan pemahamanan atau apresiasi seni sebagai suatu perbuatan yang kompleks. Respon terhadap seni akan menggugah rasa kepuasan. Melalui kegiatan menikmati seni secara sempurna akan mengalami suatu kepuasan penginderaan dan akan memperoleh pengalaman melalui imajinasinya. Partisipasi aktif dari pengamat dalam berdialog dengan seni harus dikembangkan karena apresiasi seni adalah hasil dari pada partisipasi sikap dari si pengamat sendiri. Suatu karya seni mempunyai nilai estetis hanya apabila menimbulkan respon positif pada pihak pengamat melalui kegiatan mengamati dan menterjemahkan pesan itu menjadi alat komunikasi antara seniman dengan pengamat seni. 2. Fungsi Apresiasi Seni Ada dua fungsi dari kegiatan apresiasi seni. Fungsi pertama adalah agar kita dapat meningkatkan dan memupuk kecintaan kepada bangsa sendiri dan sekaligus kecintaan kepada sesama manusia. Sedangkan fungsi kedua bersifat khusus, ada hubungannya dengan kegiatan mental kita yaitu penikmatan, penilaian, empati dan hiburan.
Apresiasi seni juga besar manfaatnya bagi ketahanan budaya Indonesia. Dalam seni budaya pendukung kebudayaan yang merasa lemah akan lebih suka mengimpor ide-ide dari luar yang dirasanya lebih tinggi nilainya. Dampak perkembangan informasi dan komunikasi modern pada era global dewasa ini telah
menerjang budaya kita sehingga kita seakan-akan tidak mampu lagi menahan serbuan pengaruh budaya asing yang dengan bebas masuk ke tengah-tengah budaya kita. Salah satu upaya agar tidak banyak lagi dipengaruhi budaya asing antara lain dengan meningkatkan apresiasi seni terhadap seni budaya sendiri. D. Tingkatan Apresiasi Kemampuan apresiasi seni dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung seperti aspek pengetahuan dan pengalaman estetik Apresiasi terhadap karya seni bagi orang banyak akan memiliki kesamaan jika orang-orang tersebut telah memiliki kemampuan pemahaman yang sama terhadap karya itu dan memiliki pemikiran kritis untuk menentukan penilaiannya. Dengan demikian, tingkat pengalaman estetik seseorang akan banyak menentukan tingkat kemampuan apresiasi bagi seseorang. Apresiasi seseorang dikatakan benar dan mempunyai tingkatan apresiasi yang tinggi apabila telah mendekati kebenaran seperti nilai yang terkandung dalam karya seni yang diamatinya. Kemampuan setiap orang dalam mengapresiasi karya seni sangatlah beragam. Ini disebabkan karena latar belakang wawasan, pengalaman dan rasa estetis yang beragam pula. Berkaitan dengan hal tersebut Tabrani (1998: 20-23) menguraikan tingkatan apresiasi sebagai berikut:
a. Kejutan (surprise)
Kerjutan akan terjadi ketika kita berhadapan dengan sesuatu karya pada “pandangan pertama” sehingga jatuh cinta. Ini sebagai akibat ciri-kreasi karya yang iseng dan novel.
b. Empati
Dalam apresiasi seni terjadi pula proses empati, yaitu si pengamat turut serta merasakan ungkapan, curahan hati seniman penciptanya. Turut serta merasakan suka duka, pikiran, perasaan, pandangan hidup dan watak yang tercermin dalam karya seni tersebut. Empati merupakan proses intuitif diiringi rasa-indah-estetis (feeling into form) yang berada antara sadar-ambang sadar. Dengan demikian, empati berhubungan dengan estetik dan bentuk.
c. Rasa-Betul-Estetis
Mereka yang terlau rasionil akan mendapat kesulitan mencapai empati, tapi mereka masih dapat mencapai Rasa-Betul-Estetis melalui proses rasionil. Bagi apresiator umum sudah cukup sampai pada Rasa-Betul-Estetis, tapi bagi para mahasiswa seni perlu dilengkapi dengan intuitif dan kreatif.
d. Simpati
Simpati berhubungan dengan etika dan isi pesan/content/fungsi suatu karya. Simpati berarti “feeling with”. Ini merupakan penjabaran intusisi yang sudah mulai merasakan meningkatnya perasan-hanyut. Jika kita merasa simpati pada seseorang maka kita seakan-akan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh orang itu dam jika kita memusatkan diri pada suatu hasil seni, maka kita memproyeksikan diri kita ke dalam bentuk hasil seni itu, dan perasaan kita ditentukan oleh apa yang kita ketemukan di sana, oleh dimensi yang kita dapatkan.
e. Rasa- Benar-Etis
Orang yang terlalu rasional akan mendapat keslitan mencapai simpati, tapi mereka masih dapat mencapai Rasa-Benar-Etis karena etika bisa didekati dengan ilmu pengetahuan. f. Terpesona Umumnya Empati lebih dahlu dari Simpati. Suatu karya mump membawa apresiator menjadi Empati dan Simpati hingga terjadinya integrasi rasa-indah-estetis (feeling into-nya empati) dengan rasa-hanyut (feeling with-nya Simpati) maka karya tersebut akan segera membawa apresiator tersebut mencapai rasa apresiasi terpesona. Transformasi suatu karya yaitu suatu perasaan yang timbul bila berhadapan dengan suatu karya yang integral dan jujur.
f. Terharu
Proses ini terjadi ditandai proses penghayatan yang merupakan peleburan sadar-ambang sadar-tak sadar menjadi satu kesatuan.
Pendapat lain berkaitan dengan tahapan apresiasi dikemukakan Bastomi (1981/1982: viii-ix) bahwa tahapan apresiasi, yaitu: kegiatan mengamati, kegiatan menghayati, kegiatan mengevaluasi, dan kegiatan berapresiasi. a. Kegiatan Mengamati Pada tahap kegiatan ini pengamat melakukan reaksi terhadap rangsangan yang datang dari objek. Bentuk kegiatan yang dilakukan pengamat berupa observasi, meneliti dan menganalisa, menilai objek, sehingga terjadi tanggapan tentang objek itu. Kebenaran tanggapan itu tergantung pada sifat kritis dan kecermatan pengamat dalam mengindera proyek, walaupun selama itu terjadi kegiatan psikologis, yang tidak pasti disadari oleh pengamat, bahwa ia sedang mengindera sebuah objek. b. Kegiatan Menghayati Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan penghayat adalah mengadakan seleksi terhadap objek sehingga terjadi proses penyesuaian antara nilai yang terkandung di dalam objek dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh penghayat. Pada tahap ini penghayat dapat menerima nilai-nilai estetis yang terkandung di dalam objek itu, namun demikian ada kalanya penghayat menerimanya tanpa kesadaran dan tanpa kritik, sehingga seluruh objek diterima sepenuhnya. Sikap emosional yang dialami oleh penghayat seperti itu oleh Theodor Lipps disebut impati (empathy). c. Kegiatan Mengevaluasi Kegiatan ini dapat dilaksanakan apabila pelakunya dapat mengukur bobot seni yang dievaluasinya. Kemampuan mengukur bobot ini biasanya dengan disertai kemampuan memberi kritik pada seni. Biasanya, orang yang mengerti seluk-beluk tentang seni, misalnya kritikus, mampu memisahkan antara yang baik dan yang tidak baik dengan sikap objektif dengan menggunakan kriteria tertentu sebagai tolok ukur penilaian suatu karya yang dievaluasinya. d. Kegiatan Berapresiasi
Pada tahap kegiatan berapresiasi perasaan seseorang telah tergetar oleh seni dan hanyut bersama-sama seni itu. Apresiator merasa bahwa dirinya berada
di dalam karya itu, artinya ia seakan-akan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh pencipta dapat memproyeksikan diri ke dalam bentuk hasil seni, perasaannya ditentukan oleh apa yang diketemukan di dalamnya. Herbert Read di dalam The meaning of art menyatakan, bahwa orang seperti itu telah simpati (sympathy) pada suatu hasil seni. Orang yang telah jatuh simpati pada sebuah hasil seni, ia berada di antara sadar dan tidak sadar terhadap objek yang dihayati, kesadarannya diiringi rasio untuk mengevaluasi dan memberi kritik kepada seni itu, namun demikian rasio yang sadar itu tidak mengurangi rasa simpati, melainkan justru menambahnya. Jika demikian halnya, maka orang itu telah mempunyai apresiasi yang benar pada suatu hasil seni. Sikap apresiatif menjadikan orang dapat menghargai sebenarnya nilai yang ada di dalam kandungan seni. Timbal baliknya orang itu dapat menghargai perasaan sendiri, sehingga dapat mencapai kenikmatan dan kepuasan karenanya. Nilai seni adalah nilai seseorang, penghargaan pada hasil seni sama dengan penghargaan kepada orang yang menciptanya. Dengan demikian, sikap apresiatip banyak berhubungan dengan sikap sosial, sebab berapresiasi pada suatu hasil seni akan menuju kearah berkomunikasi kepada penciptanya, baik langsung mupun tidak lngung dan hasil seni itu sebagai penghubungnya. E. Skenario Pengembangan Apresiasi Seni Celement dan Smith (1968) mengemukakan empat tipe cara merespon karya seni, yaitu:
1. Emotional response: Karya seni disusun oleh keinginan perasaan setiap saat dengan respon sujektif. Aspek ini banyak disukai oleh wanita dari pada pria, variabel tanggapan ditunjukkan oleh perasaan individu yang memasuki karya seni.
2. Association response: Seni sebagai batu loncatan untuk angan-angan dan menunjukan suatu hubungan (asosiasi) dengan masa kanak-kanak, pemahaman keagamaan atau sesuartu hubungan yang memungkinkan ataupun tidak terhadap karya seni. Pada aspek ini maksud melihat karya seni sebagai
sebuah cerita, monolog dan kadang-akadang dilakukan dialog dengan karya seni tersebut, kemiripan yang sama seperti orang tua, konservatif fdan suatu pulihan untuk mewakili suatu perumpamaan.
3. Novelity response: Karakteristik ini muncul dengan dengan rasa seni yang luar biasa (unnusual), kadang-kadang mengejutkan. Aspek ini ditandai dengan sebuah keinginan untuk mengumpulkan perbedaan yang besar dari gaya seni dan suatu kemampuan untuk menganalisis kualitas desain dari suatu karya oleh perasaan untuk karya seni, ketertarikan dalam mengidentifikasi objek yang diwakili dalam karya seni merupakan sebuah kekuatan untuk mempertahankan seni modern dan ketertarikan dalam pandangan baru.
4. “Aesthetic” response: Hidup dan kuatnya apresiasi dibawa untuk menguatkan tanggapan emosional yang ditemukan dalam karya seni. Segi ini menyangkut hilangnya sesuatu dengan sendirinya, empati, terletak pada gambar, untuk memahami kualitas desain, untuk menunjukan hasrat dan ketertarikan terhadap karya seni, bentuk kesamaan rasa dari orang tua dan tujuan untuk menggunakan uang untuk karya seni dalam kehidupan di masa datang.
F. Hubungan Seniman, Karya Seni dan Apresiator Fungsi penciptaan seni dapat berfungsi sebagai fungsi pribadi dan fungsi social. Secara pribadi, seniman melakukan proses penciptaan seni untuk memeroleh sumber kepuasan panca indera dan intelektual. Bagi kreator ini seni seperti lukisan, patung, atau pahatan, keramik, dan sebagainya dapat memiliki beberapa arti dan fungsi. Ia dapat merupakan latihan keterampilan, dapat pula merupakan komentar terhadap masyarakat, anggapan keagamaan, pandangan hidup, kepercayaan dan lain-lain. Sementara itu, bagi masyarakat sebagai penghayat (apresiator) dengan mengenal seni, mereka dapat memetik isi pesan dari seniman melalui karya seni tersebut. (Lihat Gambar 1)
Proses apresiasi ini akan berjalan dengan baik jika pengamat seni mengenal dengan baik kepada pencipta seni (seniman), karakteristik karya seni (ide, wujud dan teknik) penciptaan seni dan mengenal dirinya sebagai pengamat
seni. Hal ini mengingat bahwa proses apresiasi ini berkaitan antara pencipta seni karya seni dan penikmat seni tersebut. Untuk mengatasi kesenjangan antara pencipta dan penikmat seni maka kehadiran kritik seni dapat membantu kesenjangan ini. Bentuk apresiasi terdiri dari apresiasi kreatif dan apreasi afektif. Pada tataran apresiasi kreatif membawa pengamat untuk menggunakan rasio dalam menanggapi persoalan yang dihadapinya sedangkan apresiasi afektif lebih melibatkan perasaan sehingga pengamat merasa dan mengalami empati dan memperoleh rasa puas dari pada orang yang hanya melakukan apresiasi kreatif. Persoalan yang timbul dalam hal ini adalah bagaimana upaya yang dilakukan agar masyarakat mau mengikuti/menyaksikan pertunjukan atau informasi agar terbentuk “attending” yaitu bersiap untuk menerima, seperti kesiapan untuk mendengarkan atau melihat, menentukan kecerahan/kejernihan dalam persepsi. Pemusatan dari organ perasaan kadang-kadang juga menyertainya (Kartono, 1987: 34). G. Apresiasi Seni dalam Konteks Pendidikan dan Pembelajaran Proses kegiatan ini sangat kompleks. Kemampuan mengapresiasi seni memerlukan penguasaan berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, agar guru dan siswa memiliki kemampuan tersebut maka mereka perlu menguasai berbagai pengetahuan tentang seni, seniman, teknik berkarya, teori estetika, sejarah seni dan kritik. Hal ini sejalan dengan pendapat Jansen (Rice, 1997) bahwa: Like integrated humanities courses, art appreciation courses are often reduced to rote and require some knowledge of many fields of art--the artists knowledge of technique, the aestheticians understanding of theory, the historians description of contexts, and the critics assessment of contemporary relevance.
Apresiasi adalah suatu proses dan pada akhirnya melahirkan sikap dalam mencermati seni. Sikap adalah sesuatu yang tidak tumbuh dengan begitu saja. Sikap bisa terbentuk setelah berulang-ulang. Sikap (atitude) adalah
kecenderungan untuk memberi respon, baik positif maupun negatif, terhadap orang-orang, benda-benda atau situasi-situasi tertentu (Kartono, 1987: 35). Berdasarkan pandangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan sikap apresiasi dapat ditempuh melalui proses pendidikan. Upaya ini dapat membina siswa untuk dapat menghayati, menikmati, menghargai serta menilai suatu karya seni. Melalui kegiatan ini diharapkan anak-anak sebagai penerus perjuangan bangsa mampu memiliki kecintaan untuk menghargai karya-karya seni dan budaya bangsanya di masa yang akan datang. Pembinaan apresiasi seni rupa pada jenjang pendidikan sekolah dasar dapat dikatakan bukan sesuatu yang terlalu dini, mengingat bahwa interaksi anak dengan seni rupa sudah dimulai sejak pendidikan prasekolah, di Taman Kanak-Kanak. Sejak itulah proses apresiasi sudah dimulai. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara yang tepat sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Pada masa sekarang dan yang akan datang, pengembangan pendidikan apresiasi seni adalah keniscayaannya. Pendidikan apresiasi seni perlu mendapat tempat yang layak dalam kurikulum serta proses pembelajaran di sekolah. Hal ini ditegaskan Mendiknas (2002: 3) bahwa: Dengan pendidikan apresiasi seni, para peserta didik kita akan mampu menghargai dan menikmati seni secara optimal. Dengan pendekatan apresiasi, siswa akan dapat merangsang estetiknya dalam kehidupan sehari-hari, dengan penuh nalar, apresiasi dan cinta damai. Lebih jauh lagi, dengan apresiasi seni diharapkan peserta didik akan terangsang kesadaran spiritualitas mereka melaui proses merasakan dan menikmati keindahan Sang Pencipta dan ciptaan-Nya.
Peranan Pendidikan kesenian, khususnya seni rupa, memberikan kontribusi terhadap perkembangan peserta didik baik secara fisik maupun kejiwaan (psikis). Hal ini dikemukakan oleh Feldman (1967: 2-3) bahwa: “… art continous satisfy (1) our individual needs for personal expression, (2) our social needs for display, celebration, and communication, and (3) our physical needs for utilitarian structures an objectives.”. Pandangan yang senada diungkapkan Elliot Eisner (Fisher, 1978: 24) bahwa: “ The environment is most important in
determening asrtiscstic aptitudes in both production and appreciation. Therefore the teacher and the curriculum are important in “effecting artistic learning”. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran pendidikan seni rupa tidak hanya mengembangkan pertumbuhan aspek fisik, namun juga mengembangkan aspek kejiwaan anak seperti kreativitas, sensitivitas, fantasi, kehalusan perasaan dan sebagainya. Hal ini akan terjadi bila ada keseimbangan antara pengalaman berkarya dan kegiatan apresiasi. Kegiatan apresiasi sebagai hasil dari proses pendidikan seni rupa menurut pandangan Read (1958: 2) terbagi atas:
A. The activity of self-expression-the individuals innate need to communicate his thoughts, feelings and emotions to other people.
B. The activity of observation-the individuals desire to record his sense impressions, to clarify his conceptual knowledge to build up his memory, to construct things which aid his practical activities.
C. The creativity of appreciation-the response of the individual to the modes of expression which other people addres or have addressed to him, and generally the individuals response to values in the world of facts-the qualitative reaction to the quantitative result of activities A and B.
Berdasarkan pendapat di atas, pendidikan seni rupa memiliki tiga kegiatan pokok. Pertama berupa kegiatan ekspresi diri bagi individu yang ingin menyampaikan ide atau gagasan, perasaan dan emosinya kepada fihak lain. Kedua, kegiatan observasi yang mendasari sesorang untuk meningkatkan kemampuan dan fotensinya. Kegiatan ini membantu pemahamannya terhadap nilai-nilai pengetahuan yang menuntun dirinya. Sedangkan kegiatan ketiga, apresiasi, lahir dari tanggapan seseorang atas dasar-dasar nilai faktual dalam kegiatan ekspresi dan observasi. Kegiatan apresiasi dapat dilakukan dengan baik dalam praktek pembelajaran bila siswa dan guru memiliki pengetahuan hal ihwal karya seni dengan baik. Gaitskell (1975: 454) memaparkan hal tersebut bahwa:
Stated simply, art appreciation implies knowing and having information about art works and using such knowledge as a basis for discriminating, interpretating, dan judging. Knowledge about art refers to informations surrounding the work of art (names, dates, places) as well as to facts concering physical details (subject matter, media, color) taken from the
worls itself. Knowledge about art olso invorves those concepts of design, technique, and style that the teacher feels enable the student to „read” a painting, sculpture, or building with some acuity Kegiatan apresiasi yang dilaksanakan di sekolah-sekolah bermanfaat dalam memupuk anak didik untuk mencintai budaya bangsa dan sesamanya. Dengan mengenali secara seksama hasil-hasil seni tersebut mereka dapat mengenali para penciptanya, dan karena seni memiliki aspeknya yang regional (khususnya seni tradisional) dan juga yang universal sifatnya (seni modern), maka seni dapat memupuk kecintaan kepada bangsa sendiri sekaligus kecintaan terhadap sesama manusia. Dengan demikian, konsep pilar pembelajaran to life to gether yang dicanangkan oleh WHO diharapkan dapat tercapai melalui kegiatan pembelajaran pendidikan seni rupa melalui proses apresiasi. Proses kreativitas dalam berekspresi menunjukkan keberadaan manusia yang diakhiri dengan ada hubungannya dengan kemampuan apresiasi. Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa faktor penting yang menghubungkan kreativitas dan apresiasi, yaitu: “...(1) physical and mental potentiality, (2) motivation, (3) skill in use of materials and tools, (4) self-expression, (5) imagination, (6) discrimination and perception, and (7) emotionalized feelings” (Klausmeier, 1953: 350). Kemampuan fisik dan mental perlu dimiliki oleh individu dalam menjalankan tugasnya. Guru perlu memiliki kesadaran untuk berperan dalam menggali dan fotensi yang dimiliki siswa. Hal yang tidak kalah pentingnya, guru perlu memberikan motivasi kepada siswa untuk berekspresi dan mengapresiasi. Bagaimanakah apresiasi dapat ditingkatkan di dalam kelas? Klausmeier (1953: 359-360) memaparkan upaya tersebut sebagai berikut:
...The display area or bulletin board may be a work of art in itself, used to teach visual discrimination, artistic imagination, and aesthetic judgment. The selection of pictures and materials for the display, along with use of color and arrangement of the materials, builds appreciation when carefully directed by the teacher. Further, when student committees take responsibility for decorating the bulletin board once or twice per month and when someone who understands art leads a discussion of the students' work, a level of creativity in use of art materials may be assured. Student assistance in procuring and arranging flowers, in arranging the furniture, and in
decorating the whole room may help create interest in the visual arts. Each classroom teacher may encourage coöperative effort in beautifying the room and may lead informal discussion of the work as a means of building student preference for the better types. Menurut pendapat di atas, apresiasi seni dapat ditingkatkan dalam kegiatan belajar di dalam kelas dengan cara: a) memajang/memamerkan karya seni pada papan buletin, b) kegiatan pembelajaran dilakukan dengan mengkaji perbedaan berkaitan dengan keindahan, imajinasi artistik dan penilaian estetik, c) guru mengarahkan siswa dalam memilih gambar atau bahan yang akan dipajang, d) pemajangan karya dilakukan rutin misalnya satua atu dua bulan sekali, e) kegiatan diskusi dilakukan dalam memahami karya, dan f) guru membantu siswa membangun pengalaman berharga melalui kegiatan diskusi. Ada dua rekomendasi hasil pertemuan yang membahas revisi kurikulum Seni Rupa (fine art) pada tahun 1958 di Amerika yang dihasilkan oleh American Council of Learned Societies . Adapun membuat dua rekomendasi tersebut adalah: (1) that the basic approach be crative, allowing student in studios and workshops to be personally involved and (2) that historical matter be incorporates ti develove the students sense of heritage in arts. Instead of survey courses, an attempt should be made to involeve the student in the studi of ar as it represects various epochs and cultures and as if might affect his or her own creativity. Critical judgement is to be developed by practice and by seing good examples, reading, and hearing about original works. (McNeil, 1990: 356) Isi rekomendasi di atas mengandung pengertian bahwa pendidikan seni rupa dapat membuat peserta didik memiliki kemampuan kreativitas melalui kegiatan praktek di studio secara mandiri serta melalui pendidikan seni dapat meningkatkan apresiasi siswa terhadap warisan budaya bangsa dengan cara meningkatkan kemampuan kritik melalui praktek, melihat-lihat contoh, membaca, dan mendengarkan (tanggapan orang lain) tentang pekerjaannya.
Selanjutnya, kontek apresiasi dalam kegiatan pembelajaran diungkapkan Read (1958: 239) bahwa seni sebagai bagian dari wilayah pembelajaran perlu dikembangkan dengan empat pendekatan yaitu: apresiasi, kreasi, informasi dan
teknik. Kemampuan apresiasi merupakan kemampuan yang kompleks yang memadukan antara nalar dengan sikap sehingga mampu memberikan suatu penilaian. Hal ini ditegaskan Best (1985: 33) bahwa: Artistic appreciation, like understanding in any sphere, allows for the indefinitife but not unlimited possibility of interpretation, and of an extension of concepts which give sence to interpretation and judgement. In short, knowledge of any kind rest on conceps and human judgement (which) derives its sence from the shared arts, language, attitudes, and activities of a culture. Dari beberapa pengertian di atas maka apresiasi dalam bidang pendidikan seni rupa dapat diterangkan sebagai pengenalan, pemahaman, penikmatan tepat terhadap unsur-unsur dan nilai-nilai seni yang terkandung dalam karya seni sehingga tumbuh kegairahan terhadapnya serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat semua itu. H. Model Pembelajaran Apresiasi Seni Perkembangan model pembelajaran apresiasi seni sejalan dengan perkembangan tuntutan masyarakat, khususnya dunia pendidikan. Pengembangan model-model pembelajaran apresiasi ada yang dilakukan oleh fihak sekolah secara formal (lihat model 1) dan ada pula yang dilakukan oleh beberapa institusi kalangan swasta yang memberikan beberapa alternatif pada “kebekuan” pendidikan seni saat ini (model 2, 3, 4 dan 5). 1. Model SCAA (Student Centered Art Appreciation)
Model Student Centered Art Appreciation (SCAA) adalah model apresiasi seni yang dikembangkan oleh Max Darby di Victoria, Australia. Model ini merupakan hasil sintesis pemikiran dari para peneliti pendidikan seni seperti Feldman (1970), Mittler (1980). Eisner (1972, 1979), Larnier (1987), dan Chapman (1978). Ragam pendekatan dari pendapat para peneliti tersebut digunakan Darby dengan empat pendekatan umum dari kritik seni, yaitu: Deskripsi (description), Analisis (Analysis), Interpretasi (Interpretation), dan Penilaian (Judgement). Feldman meletakan pentingnya pertimbangan yang
diperlukan untuk menghindari pembuatan keputusan dengan cepat, semantara itu Mittler dan Lanier terkenal dengan pentingnya respons siswa. Menurut pernyataan Darby (Marsh, 1992: 4) tujuan apresiasi seni adalah:
1) encourage students to consider and develop their own values, opinions and views, via personal response.
2) encourage students to develop the ability to describe, analyse, interpret and compare different kinds of images and objects.
3) encourage student to make an aesthetic response to their own environment and its everyday objects and experience, including those not traditionally acknowledged to be artwork.
4) the process be an active one and not passive and that it be practical ie in some ways integrated with art making.
Model SCCA ini menurut Darby memiliki kekhasan dan memberikan kontribusi dalam hal: (a) dia menekankan kegiatan siswa melalui respon individu (personal responses) dan pengalaman individu (personal preference) siswa; dan (b) model ini mungkin untuk dilakukan dalam proses ini dapat dibawa ke dalam kelas. Berdasarkan model di atas, Marsh mempraktekan model apresiasi seni dengan mengadopsi model SCCA. Dia mempraktekan model ini pada St. Clare College bagi siswa yang berusia 12 sampai 17 tahun. Berdasarkan uji coba model tersebut disimpulkan bahwa model ini sangat memuaskan bagi tujuan penelitian dan diharapkan dapat menolong siswa memperoleh pemahaman yang lebih baik dan apresiasi pada karya seni.
2. Model Apresiasi Seni Rupa untuk Remaja (ASuRA)
Model ini dikembangkan Yayasan Seni Cameti (YSC) di Yogyakarta. Lembaga swasta ini memiliki kepedulian akan pendidikan seni bagi anak-anak dengan membuat suatu program Apresiasi Seni Rupa untuk Remaja (ASuRA) bagi siswa SLTP.
Penyelenggaraan program ini dilaksanakan selama tiga tahun (2000-2003) melalui kegiatan kolaborasi dengan fihak sekolah untuk mengajarkan seni rupa. Pada tahun pertama, proses pembelajaran apresiasi dilakukan oleh seniman dalam kegiatan ekstrakurikuler; kemudian pada tahun kedua, pembelajaran apresiasi
yang melibatkan seniman (kriya, pelukis, komikus, pegrafis, dan teater) sebagai guru seni yang dilakukan pada kegiatan intrakurikuler; dan pada tahun ketiga, program berikutnya masih dalam kegiatan intrakurikuler YSC mencoba memperkenalkan siswa untuk memaknai benda-benda yang ada di sekitar siswa dengan difasilitasi oleh para seniman sebagai konsultan (Neni, 2001: 8-10).
3. Model PAS (Program Apresiasi Seni)
Program ini merupakan bentuk kegiatan rintisan yang dilakukan atas kerja sama antara pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhamadiyah Surakarta dengan STSI Surakarta (perancang modul), UPI (penyedia Tutor), Majelis Dikdasmen PDM Surakarta dan Karang Anyar, serta The Ford Fondation. PAS menekankan pada tujuan untuk menumbuhkan minat dan penghargaan siswa terhadap kesenian, merangsang kemampuan dan keterlibatan siswa untuk berkesenian, serta mendorong siswa untuk memanfaatkan pengalaman seninya dalam kehidupan sehari-hari (Khisbiyah, Y. dan Sabardila, A., 2004: 173). Pelakanaan program ini dilakukan dalam bentuk kegiatan: 1) Roundtable Discussion yang diiluti para pakar (budayawan, etnomusikolog, dan pengusus Dikdasmen PDM Surakarta dan Karanganyar), 2) Training for Tutor, 3) Pentas Seni.
4. Model Pembelajaran Apresiasi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
Model program pembelajaran kesenian ini diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan sasaran para siswa SMU. Model ini dikenal juga dengan Apresiasi Seni Pertunjukan (ASP) (Gong No. 70/VII/2005: 10).
Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan apresiasi para siswa melalui Kegiatan ekstrakurikuler. Cara yang ditempuh ada dua model, yaitu: Model pertama bersifat proaktif dengan cara mendatangi sekolah-sekolah untuk mengandakan pertunjukan. Kemudian dilakukan diskusi yang dipandu oleh presenter (seniman). Model kedua dilakukan dengan mengundang sekolah-sekolah untuk mengunjungi dan menyaksikan pertunjukan di gedung kesenian, kemudian dilakukan dialog dan diskusi. Selanjutnya, ditawarkan pula program
pelatihan kesenian para siswa, mereka sangat responsif sehingga banyak sekolah yang mendaftarkan diri. Akan tetapi, biaya DKJ terbatas (Riantiarno, 2002: 4-5). 5. Model Pendidikan Seni Nusantara (PSN) Program PSN merupakan sebuah metode pendidikan alternatif. Model ini mulanya dikembangkan di Jawa Barat kemudian menyebar ke hampir seluruh pelosok nusantara. Program yang dilakukan lembaga ini adalah memberikan workshop/pelatihan kepada para guru kesenian, menerbitkan modul pembelajaran (Tekstil, Musik Popular, Gong (SMP), dan Topeng, Dawai untuk SMA) dan materi audio visual berbentuk VCD.
LATIHAN Untuk mengetahui pemahaman Anda terhadap materi yang telah dipelajari, silahkan Anda mengejakan latihan
1. Bagaiman definisi apresiasi seni menurut Anda?.
2. Jelaskan hubungan apresiasi seni antara seniman, karya seni, dan apresiator
3. Sebutkan tingkatan apresiasi
4. Bagaimana cara untuk meningkatkan apresiasi dalam proses pembelajaran di dalam kelas
5. Uraikan karakteristik perbedaan model pembelajaran apresiasi seni
RANGKUMAN
Apresiasi seni adalalah kemampuan mental manusia dalam memberikan tanggapan, penilaian dan penghargaan terhadap karya seni sehingga menimbulkan rasa terpesona dengan penikmatan dan pemahamannya. Sikap apresiasi merupakan dimensi sikap yang mencakup pengetahuan dan keterampilan serta perhatian. Apresiasi juga berdimensi prilaku yang perlu dilatih secara terus menerus karena tingkat apresiasi tiap orang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk mengembangkan tingkat apresiasi ini perlu dibina sejak anak usia dini agar dalam dirinya tertanam pemikiran yang kritis serta kebiasan saling menghargai. Hal ini Tujuan apresiasi adalah untuk menghasilkan pengalaman estetis serta mengenalkan nilai-nilai budaya. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi apresiasi seni untuk mencintai budaya dan sesama dan secara khusus dapat menikmati, menilai , dan menghargai karya seni. Model pembelajaran apresiasi yang telah ada berkembang di antaranya model Student Centered Art Appreciation (SCAA), Model Apresiasi Seni Rupa untuk Remaja (AsuRA), Program Apresiasi Seni (PAS), Model Pembelajaran Apresiasi Dewan Kesenian Jakarta, dan Model Pendidikan seni Nusantara (PSN)
TES FORMATIF 1
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memilih a, b, c, atau d pada jawaban yang paling benar
1. Kemampuan mental manusia dalam memahami, mengenal, mempertimbangkan, menilai dan menghargai karya seni disebut….
DAFTAR PUSTAKA Alisjahbana, S. T. (1983). Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat. Bastomi, S. (1981/1982). Landasan Berapresiasi Seni Rupa. Semarang: Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi IKIP Semarang. Best, D. (1985). Feeling and Reason in the Arts. George Alen and Unwin. Chang, R. (1980). “Philosophic Approaches to an Art Psychology”. Commentaries on the Psychology of Art. Unpublished. Tersedia: http:// www. lastplace.com/Journal/philosart.htm. [6 Oktober 2005].
Chang, R. (1980). What is “Art”. Tersedia: di http://www lastplace.com/ whatisartfrom.htm. [17 Desember 2005].
Emmons, R. A. & McCullough, M.E. (Ed.) (2004). The Psychology of Gratitude. New York: Oxford University Press.Tersedia: http:/www.questia.com. [28 Mei 2005].
 Fisher, E. F. (1978). Aesthetic Awareness and the Child. Illionis: F. E. Peaccock Publishers, Inc. Gaitskell, C. D. and Gaitskell, M. R. (1954).
Art Education During Adolescence. New York: Harcourt, Brace and Company. Jansen, C. R. (Stokrocki, M. (Ed). (1995).
Scenarios of Art Apreciation. In New Waves of Research in Art Education. Reports Seminar for Research in Art Education. Michigan Iniversity. ED 395 871 Tersedia: http:/eric.ed.gov/ ERICDOCs/data/ericdocs2/content_storage_01/ 0000000b/80/26/94/c1.pdf. [30 Agustus 2005].
Kartono, K dan Gulo, D. (1978) Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya. Khisbiyah, Y. dan Sabardila, A. (Ed) (2004).
Pendidikan Apresiasi, Wacana dan Praktik untuk Toleransi Pluraisme Budaya. Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhamadiah bekerja sama dengan The Ford Fondation. Klausmeier, H. J. (1953)
 Principles and Practices of Secondary School Teaching. New York: Harper & Brothers. Margaret, M. (1992).
“Art Appreciation in Practice in Sydney, Austalia”. Reports-Evaluative/Feasibility. ED 354 172. Tersedia:  http:/eric.ed.gov/ERICDOCs/ data/ ericdocs2/content_storage_01/ 0000000b /80/24/f1/ca.pdf.  [30 Agustus 2005].
Neni, Y. W. (200..). “Jurnal Program Apresiasi Seni rupa untuk Remaja (AsuRA). Yogyakarta: Yayasan Seni Cameti. 14, Agustus – Oktober 2004.
Osborne, H. (1970). The Art of Appreciation. London: Oxford University Press. Read, H. (1958) Education Through Art. London: Faber and Faber Riantiarno, A.R. (2002). “Program Apresiasi Dewan Kesenian Jakarta”. Makalah pada Semiloka Nasional Pendidikan Apresiasi Seni: Merayakan Keanekaragaman Budaya Nusantara Kerja sama Pust Studi Budaya UMS dan Ford Foundation di Hotel Lor In Solo pada tanggal 28-30 Juli 2002.
Rice, R. W. (1997). Art Appreciation. (Online). In Art 360 Foundation of Art Education. Tersedia: http://www.uncg.edu/art/ courses/rwrice/360/AAprec. htm [4 Maret 2006].
Smith, M. R. (1995). “Using Art Criticism to Examine Meaning in Todays Visual Imagery”. Conference Paper in Eyes on the Future: Converging Image, Ideas, an Instruction Selected Eadings from tehe Annual Confrece of Iternatioal Visual Literacy Association (27th , Chicago, October 18-22, 1995).
ED 391517. 351-360. Soedarso SP. (1990) Tinjauan Seni Sebuah Pengantar untuk Apresiasi Seni. Yogyakarta: Saku Dayar Sana Yogyakarta.
Soehardjo, A. J. (2005). Pendidikan Seni, dari Konsep sampai Program. Malang: Balai Kajian Seni dan Desain Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

No comments: